Cerita Kolega Yang Jujur Di Kota Tua Jakarta

Di bawah teriknya Kota Tua Jakarta, duduk seorang pria, mengenakan kemeja polos merah dan ikat kepala Batik, menunggu pelanggan mencari nasihat meramal dan pertandingan di masa depan atau hanya pelancong yang ingin tahu tentang membaca garis tangan. Dia duduk tak bergerak selama berjam-jam di trotoar dekat pintu masuk Museum Sejarah Jakarta sambil menyiapkan tumpukan kartu merah dan beberapa papan kuning bertuliskan gambar garis-garis palem dan artinya bagi ciri-ciri orang. Penantiannya berakhir ketika seorang gadis muda, mengenakan topi ember berwarna merah muda-ungu, mendekati palmist dan bertanya tentang harga jasanya.

Cerita Kolega Yang Jujur Di Kota Tua Jakarta. “Bayar sesuai keinginan,” jawab Dede Hidayat, pembaca telapak tangan. Hidayat memulai pekerjaannya dengan menanyakan tanggal lahir kepada gadis muda itu. Gadis muda itu menyebutkan tanggal dan hari lengkap dia dilahirkan setelah mana pembaca telapak tangan mengarahkan fokusnya untuk dengan cermat mengamati beberapa garis halus pada kedua telapak tangannya.

“Anda adalah wanita yang mandiri, ambisius, dan asertif. Anda adalah orang yang mudah dalam hal membersihkan udara dengan orang lain. Namun, Anda harus lebih berkompromi dengan kolega Anda, karena itu akan baik untuk karier Anda. Tidak akan ada masalah dengan uang, tetapi Anda sedikit boros. Gunakan uang Anda dengan bijak. Untuk percintaan, jangan khawatir, Anda memiliki pasangan yang baik dan setia, karena Anda jujur ​​dan loyal kepadanya, ”kata Hidayat kepada pelanggan mudanya setelah mengamati garis telapak tangannya.

Setelah sesi membaca garis tangan selama beberapa menit, Hidayat meminta gadis muda itu untuk mengambil empat kartu merah dari geladaknya. Kartu-kartu itu disebut Ogan, sebuah dek Tarot tradisional yang berasal dari wilayah timur Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Cirebon.

Berbeda dengan dek Tarot Italia yang terdiri dari 78 kartu, Ogan berisi lebih dari 100 kartu melambangkan kekayaan dan mengklaim untuk meramalkan masa depan. Misalnya, di dek Ogan, gambar bintang-bintang di langit hitam didefinisikan sebagai harapan atau masa depan yang cerah, sementara gambar piala emas menunjukkan bahwa seseorang dapat memenangkan sesuatu atau mungkin memimpin beberapa kelompok, Hidayat menjelaskan.

Berbeda dengan beberapa orang yang mengklaim praktik Hidayat sebagai takhayul dan tidak memiliki logika, palmist menyebut layanannya sebagai bagian dari psikologi jalanan.


~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@~@

"Saya membaca gerakan orang, perilaku mereka. Cara orang menampilkan diri menjelaskan sifat dasar mereka," Hidayat mengaku.

Namun, karena ia tidak memiliki gelar dalam bidang psikologi, Hidayat lebih suka menyebut praktik membaca garis tangan sebagai seni.

"Anda bisa belajar menjadi pembaca telapak tangan, tetapi pekerjaan semacam ini membutuhkan kepekaan yang kuat dalam mengamati orang dan kemampuan untuk menghibur pelanggan Anda," ungkapnya.

Hidayat telah berlatih membaca garis tangan selama hampir dua dekade sejak awal 2000-an, dan sekarang, jasanya telah berubah menjadi objek wisata yang diselenggarakan oleh Kantor Manajemen Kota Tua Jakarta (UPK Kota Tua), kata ketua Norviadi Setio Husodo.

Di bawah pemerintahannya, Husodo mengatakan bahwa Kantor Manajemen Kota Tua telah membentuk beberapa komunitas tidak hanya pembaca telapak tangan tetapi juga musisi jalanan, operator penyewaan sepeda, dan pemain patung hidup untuk bekerja sama untuk menarik wisatawan sambil melindungi tengara bersejarah Kota Tua Jakarta.

“Saya harus memastikan bahwa para pemain, yang bekerja di Kota Tua, harus memperkenalkan budaya dan tradisi Indonesia, karena situs bersejarah ini adalah tujuan utama bagi penduduk lokal dan wisatawan asing begitu mereka berada di Jakarta,” jelas Husodo. Cerita Kolega Yang Jujur Di Kota Tua Jakarta.

Karenanya, setiap pertunjukan jalanan yang gagal menggambarkan esensi sejati dari beragam budaya, seni, dan tradisi negara akan diminta untuk meninggalkan Kota Tua, ia menekankan.

“Dulu, jalanan di samping Museum Sejarah Jakarta dipenuhi pocong dan kunti (hantu lokal). Saya meminta mereka untuk menampilkan karakter lain, seperti pahlawan nasional kita, tentara Belanda, atau karakter wayang kita, ”kata Husodo.

Keajaiban berlanjut

Hidayat bukan satu-satunya pemain, yang berhasil menarik perhatian wisatawan di situs bersejarah Kota Tua. Di dekat kiosnya, para pelancong mungkin melihat gambar aneh seorang lelaki yang melayang di atas tanah. Pria itu, dengan make-up lengkap dan mengenakan satu set lengkap pakaian perang Jawa, diangkat, tanpa alat menangguhkan anggota tubuhnya. Selama hampir tiga jam, ia akan melayang dan diam, sambil berpose setiap kali beberapa wisatawan memintanya untuk berfoto.

Pemain patung hidup, Yusuf Sumbagio, mengatakan bahwa ia memainkan karakter pahlawan perang mitos Jawa, Gatot Kaca. Sumbagio menguraikan bahwa karakternya berasal dari epos India kuno Mahabharata yang disesuaikan dengan seni wayang kulit Jawa.

“Tampil sebagai patung hidup Gatot Kaca adalah pekerjaan penuh waktu bagi saya, tetapi ini bukan soal uang. Saya tidak membebankan biaya kepada orang-orang, yang mengambil gambar saya, karena itu adalah pekerjaan bayar sesuai keinginan. Namun, saya menikmati saat-saat ketika mereka bertanya kepada saya tentang karakter yang saya tampilkan, ”kata Sumbagio.

Cerita Kolega Yang Jujur Di Kota Tua Jakarta